Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SEKILAS TENTANG SEJARAH KOPI DI TABAGSEL

 


Kopi bukanlah komoditas asli Indonesia. Tanaman ini awalnya diperkenalkan ke Indonesia oleh VOC pada akhir abad ke-17. Saat itu, VOC mencoba membudidayakan kopi di beberapa tempat di Jawa, utamanya di daerah sekitar Priangan, Jawa Barat. Upaya bertani kopi di Jawa pun terkait dengan permintaan komoditas di pasar Eropa (Asnan 2007, 203). Untuk memenuhi permintaan kopi yang terus meningkat setiap tahun, VOC menerapkan kebijakan yang disebut Sistem Prioritas, yaitu prinsip mengumpulkan tanaman kopi secara paksa di dalam daerah yang ditundukkan yang berada di bawah kendali langsung VOC (Van den Berg, 1879,428).



Perkebunan kopi di sepanjang pesisir barat Sumatera (Minangkabau dan Tapanuli) dianggap awalnya ditanam di daerah pedalaman, disekitar dataran tinggi Agam, tepatnya. Dari daerah itu tumbuh tanaman kopi menyebar ke daerah Minangkabau lainnya sampai ke Kabupaten Tapanuli, yaitu Pakantan daerah (Mandailing) dan Sipirok (Angkola). Satu-satunya spesies kopi yang diketahui penduduk lokal pada awalnya adalah Arabika (sejarawan sebelumnya menyimpulkan bahwa jenis ini kopi kemungkinan besar dibawa oleh orang-orang yang kembali ke rumah setelah menyelesaikan haji mereka ziarah di Mekah.) (Dobbin 1992, 48–53, 265–267).


Awalnya, biji kopi tidak ditanam dengan tertib melainkan tumbuh seperti batang pohon yang menyerupai tanaman hutan belukar lebih dari pertanian budidaya. Oleh karena itu, tanaman kopi pun ada sering disebut “kopi hutan” (Van Burst 1827, 65). Orang-orang Mandailing dan Angkola biasanya menanam kopi di dekat desa asalnya. Karena banyak sekali Perkebunan kopi mengelilingi desa, istilah baru diciptakan untuk kopi: kopi pagar. Disebut demikian karena perkebunan kopi rakyat dikelilingi desa seperti pagar. Keberadaan kopi di pedalaman Minangkabau dan Tapanuli sebelum Belanda kolonialisme dapat dibagi menjadi dua periode. Pertama, ada masa bebas perdagangan kopi dari tahun 1780 hingga 1883. Selama fase ini, perdagangan kopi lokal bisa masih berlangsung bebas tanpa keterlibatan wajib dalam jaringan perdagangan dijalankan oleh Belanda. Kedua, ada periode 1833–1847 yang ditandai oleh sektor perdagangan kopi lokal yang secara bertahap diarahkan oleh kekuatan Belanda bermarkas di Padang. Pada fase inilah sektor distribusi kopi mulai digarap tunduk pada peraturan pemerintah seperti perlindungan harga dan berbagai jenis pengenaan pajak, seperti pajak pelabuhan dan pajak pasar (Zed 1983, 43-44).



Dalam kesehariannya, masyarakat Mandailing dan Angkola sangat menyukai kopi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika perdagangan kopi terjadi di pasar lokal sejak lama. Informasi pertama mengenai perdagangan kopi berasal dari laporan seorang Belanda pada akhir abad ke-18. Antara lain laporan menyampaikan bahwa perdagangan kopi telah menyebar dari daerah pedalaman hingga pasar Padang pada tahun 1789. Perdagangan kopi belum menjadi komoditas ekspor; sebaliknya, itu yang terjadi hanya komoditas perdagangan di pasar lokal untuk konsumsi rumah tangga (Dobbin 1992, 49–50). Pada tahun 1790, setahun setelah laporan pertama perdagangan kopi, muncul laporan kedua tentang kapal Amerika pertama yang berlabuh di area pemuatan mereka kargo dengan kopi. Sejak tahun tersebut, kopi menjadi salah satu andalan ekspor komoditas dari daerah tersebut (Asnan 2007, 204).


Awalnya kopi yang diperdagangkan berupa daun kopi. Terkadang memang begitu dijual segar (daun kopi segar), tetapi lebih sering dalam bentuk daun kering, yaitu sudah dimasak sedemikian rupa (biasanya dengan menjemurnya di atas kompor masak) itu berubah menjadi daun siap untuk disajikan dalam minuman (Hanbury 1854, 370–375; Zed1983, 45–46). Tradisi menggunakan daun kopi untuk membuat minuman sudah lama ada terkenal di kalangan masyarakat Minangkabau dan Tapanuli, terutama di kalangan generasi tua di daerah tersebut. Setelah jangkar pertama kapal Amerika di pantai barat Sumatera yang dibelinya kopi dan memberikan keuntungan besar di negara asalnya, tambahan Amerika kapal tiba terus menerus di tahun-tahun berikutnya. Selain itu, pada saat itu, orang Inggris kapal dagang juga memuat kopi yang mereka beli dari penduduk setempat dan dikirim ke Eropa. Situasi ini berlangsung hingga Belanda menduduki kembali Sumatera kawasan pantai barat pada tahun 1819, namun terpisah dari Tapanuli, Air Bangis dan Natal, yaitu pintu keluar komoditas dari pedalaman Tapanuli, sebagian besar wilayah masih di bawah pendudukan Inggris, setidaknya sampai akhir tahun 1825.



Pertanian paksa Kopi merupakan salah satu komoditas terpenting bagi pemerintah kolonial di Tapanuli. Ekonomi kopi kolonial dimulai saat Mandailing dan Daerah Angkola mulai diduduki pada tahun 1833. Kebijakan ekonomi kolonial pun kemudian diimplementasikan di area tersebut, yaitu sistem penyerahan kopi wajib ke pemerintah kolonial (Lulofs 1904, 1637). Awalnya benih untuk perkebunan kopi di Tapanuli berasal dari biji yang sedang dibudidayakan di Sipirok dan Pakantan. Salah satu pemilik perkebunan kopi saat itu adalah Djaroemahot Nasution. Perkebunan kopinya menutupi lereng Aek Pegunungan Bariba sampai ke daerah Bungabondar. Perkebunan itu diwarisi ayah angkatnya, seorang pedagang garam yang sering pergi ke pelabuhan. Biji kopi dikoleksi oleh ayah angkat Djaroemahot dari pedagang Arab yang datang ke pelabuhan pantai barat pada masa itu (Pantai Barat Sumatera No. 127/11, ANRI). Selain menjadi pemilik perkebunan kopi dan petani kopi, Djaroemahot Nasution juga mendominasi pasar kopi pada masanya, yang memungkinkannya untuk membangun hubungan dengan Gustaf van Asselt, seorang pakus (pedagang pengumpul kopi) yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda. Faktanya, pakus ini juga merupakan “Intelijen” Belanda dan memata-matai perdagangan untuk membantu mengamankan kepentingan Belanda di Tapanuli. Pakus-pakus ini biasanya juga menutupi tindakan utama mereka melaksanakan penginjilan (Sumatra's Westkust No. 127/11, ANRI).


Informasi dari van Asselt dan pakus akhirnya menjadi rujukan agar pemerintah kolonial mengirim Dr. Franz Junghuhn, seorang antropolog dan ahli botani. Junghuhn melakukan penelitiannya dari Mandailing ke Sipirok, Angkola. Itu Hasil penelitiannya berupa rekomendasi Pegunungan Mandailing dan Angkola sebagai tempat yang baik untuk menanam tanaman yang kuat seperti kopi (Junghuhn 1847, 67). Akibat temuan Junghuhn, dimulailah pemerintahan kolonial Belanda memikirkan untuk mendirikan perkebunan kopi di daerah Tapanuli. Untuk membuat usaha itu berjalan lancar dan mendapat dukungan dari masyarakat setempat, Belanda menindaklanjuti penelitian Junghuhn dengan mengirimkan Herman Neubronner van der Tuuk, seorang linguis, mempelajari bahasa dan budaya masyarakat Tapanuli. Temuan van der Tuuk menggeneralisasi bahasa di Tapanuli ke dalam satu bahasa kategori, yaitu Bahasa Batak (bahasa Mandailing, Angkola dan Toba) (Junghuhn 1847, 67).


Berdasarkan penelitian Junghuhn dan van der Tuuk, penjajah Belanda pemerintah akhirnya mendirikan perkebunan kopi di Mandailing dan Angkola dan menerapkan sistem tanam paksa kopi kepada masyarakat setempat. Pelaksanaan budidaya kopi pemerintah, gouvernements koffiecultuur, lebih dikenal sebagai Sistem tanam paksa, di kawasan pantai barat Sumatera ternyata telah berlangsung sejak 1847. Ide dasar dari sistem tanam paksa kopi dinyatakan dalam Surat Keputusan Gubernur A.V. Michiels pada 1 November 1847, yang memaksa setiap keluarga menanam minimal 150 pohon kopi. Semua tanaman kopi harus menghasilkan ke gudang pemerintah yang tersedia. Sebagai kompensasinya, masyarakat akan mendapatkan dibayar tunai sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah (Amran 1985, 98–99). Meskipun penerapannya dimulai pada tahun 1847, bagi Tapanuli, sebenarnya tidak dieksekusi sampai 1849 (Zed 1983, 88–89, 113–114).


Budidaya kopi di Tapanuli merupakan kebijakan politik dan ekonomi masyarakat pemerintah pusat untuk mendapatkan keuntungan dari sektor pertanian kopi daerah tersebut. Pelaksanaannya di Tapanuli langsung ditolak masyarakat karena mereka menganggap skema kemitraan yang awalnya disepakati sedang diubah menjadi eksploitasi sehingga memicu pertentangan dan kerusuhan di beberapa tempat. Meskipun situasi, kebijakan itu masih dijalankan oleh pemerintah kolonial. Untuk mengamankan program pemerintah kolonial di Tapanuli, Gubernur A.V. Michiels menugaskan Mayor Alexander van der Hart untuk membantunya di bidang sipil administrasi di Tapanuli. Dalam menjalankan tugasnya, dia berhasil menenangkan gejolak sosial yang terjadi di Mandailing dan Angkola serta menundukkan perlawanan Tuanku Tambusai di Sosa dan Dalu-Dalu. Dalam memberikan keamanan bagi penanaman, pemerintah menempatkan petugas untuk menjaga perkebunan dan menyediakan pengawalan keamanan untuk transportasi kopi ke gudang pelabuhan di Natal dan Sibolga (AS GB-MGS, No. 4233, ANRI).


Budidaya kopi di Sipirok dimulai dengan penanaman kopi secara paksa oleh masyarakat di sekitar lereng gunung dan dataran rendah pegunungan Aek Bariba. Perkebunan kopi di daerah tersebut diprakarsai oleh van Asselt setelah ia berhasil menginjili Warga parausorat, sedangkan perkebunan kopi di Bungabondar, Lancat dan Daerah Simangambat diprakarsai oleh Pastor Beltz (Joustra 1926, 53). Untuk memperbanyak produksi kopi di Tapanuli, pada tahun 1835 dilakukan pemerintah kolonial Belanda mengimpor biji kopi arabika dari jawa melalui pelabuhan natal. Kopi ini spesies kemudian ditanam di Pakantan dan Sipirok. Untuk mendukung pemerintah. Kebijakan ekonomi, di Tano Bato dan Sipirok didirikan kebun pembibitan kopi pada tahun 1840. Pasokan benih kopi dari Tano Bato dan Sipirok akhirnya dapat terpenuhi kebutuhan bibit kopi disalurkan ke masyarakat Mandailing dan Angkola daerah, terutama Pakantan dan Sipirok. Dengan adanya kebun pembibitan kopi di Tapanuli, pemerintah kolonial Belanda di Tapanuli tidak perlu meminta biji kopi akan dipasok dari Jawa (Sumatra's Westkust No. 122/9, ANRI).


Perkebunan kopi di Mandailing menghasilkan 1.300 pikul (pikul adalah bahu membawa beban seberat sekitar 62,5 kg) pada tahun 1845, dan pada tahun 1846 itu mencapai 3.000 pikul. Produksi kopi Mandailing diperkirakan pada tahun 1847 lalu 1848 masing-masing 5.000 pikul dan 10.000 pikul. Estimasi produksi untuk dua tahun berikutnya diperoleh dari hasil audit pemerintah pada tahun 1841–1843 dengan menghitung jumlah tanaman kopi di setiap perkebunan (Kielstra 1888a, 28). Pemerintah kolonial Belanda mulai membeli kopi pertama kali pada tahun 1845. Pembelian ini tentu saja dari petani kopi lokal. Itu kemudian disimpan dalam kopi gudang. Untuk Mandailing, gudang kopi berada di Tano Bato, dan di Ulu dan daerah Pakantan gudang penyimpanannya adalah Kotanopan, sedangkan untuk daerah Angkola, berada di Padang Sidempuan, Sipirok dan Sigalangan (Anonim 1924, lampiran 3).


Jumlah tanaman kopi di Mandailing dan Angkola pada tahun 1848 sudah lebih dulu mencapai 2.800.000 dan mulai menghasilkan. Menurut deskripsi A.P. Godon, yang mengunjungi gudang kopi Tano Bato pada Mei 1848, ada 4.100 pikul kopi di gudang; Jumlah tersebut merupakan hasil panen kopi keduanya tahun itu dan tahun sebelumnya (1847). Kemudian, awal Januari 1849, di sana telah membeli kopi lebih lanjut senilai 5.200 pikul lagi. Jadi, secara keseluruhan, ada 9.300 pikul kopi di gudang-gudang yang siap dikirim ke pelabuhan Natal (Godon 1862, 9–11). Pada pertengahan 1850-an, ada 5.500.000 tanaman kopi yang tersebar di sekitar Mandailing (Mandailing Godang, Mandailing Julu dan Pakantan), Angkola (Sipirok) dan Batang Natal. Setiap rumah tangga menanam sekitar 500 tanaman kopi, dan pemerintah mengatur tempat pengumpulan kopi di Natal dan Udara Bangis (Van der Hoeven 1864, 44). Pada tahun 1856, pemerintah kolonial berhasil masuk mengumpulkan tidak kurang dari 20.000 pikul kopi dengan total pendapatan f 3.995.628 (Godon 1862, 9–11; Kielstra 1888a, 65).



Seperti diuraikan di atas, hingga pertengahan abad ke-19, sebagian Kabupaten Tapanuli diduduki oleh Belanda hanya meliputi Natal, Mandailing dan Sipirok (Angkola) daerah, sedangkan daerah lain, seperti Padang Lawas, Silindung dan Toba Inland kemudian ditempati pada pertengahan abad ke-19. Dengan pekerjaan baru teritori di Tapanuli, pemerintah kolonial Belanda mengundang konsultan / ilmuwan untuk memberikan saran dan rekomendasi tentang perluasan kopi areal budidaya dan penambahan pegawai di areal tersebut. Perkebunan kopi bidang yang dibahas oleh konsultan antara lain Mandailing Julu, Ulu dan Pakantan; Mandailing Godang dan Batang Natal; Angkola; Sipirok; dan Padang Lawas, Toba dan Silindung (AS GB-MGS, No. 4060, ANRI). Salah satu hasil diskusi para pembimbing ilmiah tersebut adalah bahwa Padang Lawas wilayah (kecuali bagian yang berbatasan dengan Sipirok) dibebaskan dari penanaman kopi. Itu pengecualian dari area ini adalah karena itu adalah area yang luas dari buluh yang sama sekali tidak cocok untuk budidaya kopi. Meski sudah bebas dari budidaya kopi, warga daerah itu masih terpaksa menyerahkan hasil tanahnya kepada pemerintah (ASGB-MGS, No. 4060, ANRI). Selain Padang Lawas, afdeeling Toba dan Silindung juga dibebaskan sepenuhnya dari budidaya kopi (Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1892, No. 249). Pengecualian ini karena daerah tersebut merupakan sentra produksi beras; dengan demikian, pemerintah kolonial mendorong praktek lokal masyarakat dalam mengelola dan mengembangkan sawah. 


Penduduk Toba dan Silindung mulai dimobilisasi membudidayakan kopi setelah kultur kopinya ditiadakan, demikian perkembangannya Kopi yang diproduksi masyarakat sangat didorong untuk meningkatkan jumlahnya produksi kopi, selain produksi dari kopi pemerintah dan kopi perkebunan kopi swasta (AS GB-MGS, No. 4060, ANRI). Berbeda dengan di Padang Lawas, Toba dan Silindung, penanaman kopi di Aek Puli dulu wajib, namun dibebaskan dari sistem kultivasi. Kondisi ini membuat banyak orang di Sipirok yang tidak puas. Di kawasan Pahae, penanaman kopi masih berlangsung wajib (AS GB-MGS, No. 4060, ANRI). Selain memutuskan area yang tidak cocok untuk perkebunan kopi, ilmiah Penasihat juga mencapai kesimpulan lain untuk pemerintah kolonial Belanda. Itu Isi dari kesimpulan akhir mereka adalah sebagai berikut: (1) peruntukan lahan untuk kopi perkebunan, sedapat mungkin, tidak terlalu jauh dari perbatasan rumah pemilik perkebunan, dan pemerintah akan terus melakukan pemantauan percepatan budidaya; (2) pemerintah harus memiliki cadangan yang sesuai tanah untuk bercocok tanam tanaman lain dan untuk kebutuhan pemekaran desa; dan (3) Kepala dan pengusaha perkebunan harus membuat dan melaksanakannya dari skema budidaya yang masuk akal. Ketika usaha seperti itu dilakukan, budidaya kopi akan berhasil dan menghasilkan keuntungan yang signifikan, yang pada akhirnya akan meningkatkan keinginan orang untuk menanam kopi di kebun mereka dan tidak mempersulit pemerintah dan pengusaha yang berniat menyewakannya tanah (AS GB-MGS, No. 4060, ANRI).


Dengan keinginan mereka untuk meningkatkan produksi kopi, pemerintah kolonial Belanda lupa membuat peruntukan lahan untuk budidaya tanaman lain, sangat banyak sehingga produksi tanaman lain di daerah tersebut menjadi langka. Selain itu, pemerintah masih memberlakukan harga beli kopi yang sangat rendah di beberapa daerah, yaitu, f 15 per pikul. Harganya tidak cukup untuk memenuhi mata pencaharian perkebunan pemilik pada saat itu, sebagai bagian dari pendapatan yang dibutuhkan untuk menanam, merawat untuk, dan memelihara perkebunan dan untuk pemungutan, persiapan dan pengangkutan (AS GB-MGS, No. 4060, ANRI). Memasuki tahun 1879, produksi kopi di Tapanuli mengalami penurunan. Penurunan dalam produksi kopi dipicu oleh rendahnya harga beli kopi yang ditetapkan oleh Belanda pemerintah kolonial, yang melarang orang menanam kopi mereka perkebunan. Pada tahun 1871, ada gerakan di Sibolga untuk mendukung pemberantasan sistem budidaya kopi. Ini masalah seputar pemberantasan kopi Sistem budidaya menyebar dengan cepat di Tapanuli sehingga pemerintah kolonial pun akhirnya tertekan dan terdesak untuk membubarkan sistem. Pencabutan hukum budidaya kopi dan penghapusan pengiriman kopi wajib tidak berlangsung secara merata di seluruh Tapanuli. Di beberapa daerah, seperti Toba dan Silindung, pengiriman kopi wajib masih berlaku, dan regulasinya adil diperbarui pada tanggal 20 November 1892 (AS GB-Bt, No. 130, ANRI). Penurunan produksi kopi juga disebabkan oleh kelangkaan dan keterbatasan lahan bagus untuk ngopi di daerah Sipirok, Pakantan, Mandailing Godang, Mandailing Julu dan Batang Natal, menyebabkan para petani berjuang keras untuk mengembangkannya perkebunan. Di wilayah tersebut, perkebunan kopi umumnya berada di dekat pemukiman. Oleh karena itu, pemerintah membuka hutan yang jaraknya sangat jauh dari ini pemukiman untuk perluasan perkebunan kopi. Tindakan serupa dilakukan Toba karena tidak ada lagi lahan yang bagus untuk kopi di kawasan pemukiman. Dulu hanya warga Sipirok yang mau mengolah tanah jauh dari rumahnya desa. Di Mandailing, sistem tersebut tidak diterapkan oleh masyarakat karena mereka keengganan untuk meninggalkan desa mereka (AS GB-MGS, No. 4060, ANRI). Penurunan jumlah tanaman kopi sebenarnya diikuti dengan program baru pemerintah, yaitu, pengenalan sistem perpajakan di Tapanuli. Itu penyebaran sistem perpajakan yang disebarkan oleh pemerintah kolonial itu awalnya tidak diterima dengan baik. Orang-orang lokal kemudian masih puas dengan akhirnya dari sistem budidaya; Namun, harga beli kopi ditetapkan oleh pemerintah mulai meningkat. Karenanya, para petani bergegas kembali membudidayakan kopi mereka perkebunan seiring dengan harga beli kopi yang terus meningkat. Begitu masyarakat dibebaskan dari sistem budidaya kopi, produksi kopi meningkat. Produksi kopi adalah 38 pikul pada tahun 1884, 75 pikul pada tahun 1885, 73 pikul tahun 1886, 70 pikul tahun 1887, 13 pikul tahun 1888, 22 pikul tahun 1889, 4 pikul tahun 1890, 57 pikul tahun 1891, 63 pikul tahun 1892, 386 pikul tahun 1893, 239 pikul tahun 1894, ± 210 pikul tahun 1895, 226 pikul tahun 1896, 351 pikul tahun 1897, 644 pikul tahun 1898 dan 700 pikul pada tahun 1899. Data produksi kopi ini didasarkan pada kopi yang dibawa ke gudang Sibolga. Dengan menjadikan wilayah Toba dan Silindung menjadi wilayah wajib tempat pengiriman kopi, pemerintah kolonial menargetkan mencapai kopi produksi di atas 110.000 pikul (AS GB-MGS, No. 4060, ANRI).


Daerah penghasil kopi di Tapanuli antara tahun 1894 dan 1898 masih mendominasi di dekat area Mandailing dan bukan di Angkola. Dalam empat tahun itu, kopi produksi di daerah Mandailing (yaitu, Mandailing Godang) adalah 656 pikul, dan produksi kopi di Mandailing Julu dan Pakantan adalah 2.950 pikul Angkola memproduksi kopi sebesar 162 pikul untuk onderafdeeling Angkola dan 2.169 pikul untuk Sipirok. Batang Toru tidak lagi menghasilkan kopi, dan Padang Lawas ditargetkan menghasilkan 36 pikul per tahun. Produksi kopi di Toba dan wilayah Silindung dari tahun 1893 hingga 1898 rata-rata 343 pikul per tahun, sedangkan ekspor kopi dari daerah ini pada tahun 1899 lebih dari 683 pikul (AS GB-MGS, No.4233, ANRI). Untuk meningkatkan produksi kopi di Tapanuli, dibuat pemerintah kolonial Belanda kebijakan ekonomi baru yang menetapkan batas minimum wajib kopi pengajuan untuk setiap area, tetapkan sama pada 40%. Alasannya supaya jadi kopi Pemilik perkebunan bisa menghasilkan 1 pikul kopi setiap panen. Area-area itu mampu menyerahkan 40% produksi kopi mereka kepada pemerintah nantinya diberi keuntungan khusus, dan harga beli kopi untuk daerah tersebut akan dinaikkan setiap tahun. Namun demikian, tidak semua daerah mampu memenuhi kebutuhan tersebut pemerintah. Untuk daerah yang produksinya tidak memenuhi kebutuhan Pemerintah, kekurangannya bisa dibayar tunai sama dengan nilai jumlah kopi di bawah 40% (AS GB-MGS, No. 4233, ANRI).



Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi kopi sampai dengan tahun 1900 masih tetap didominasi oleh daerah Mandailing. Produksi kopi dari daerah Angkola selalu menduduki peringkat kedua setelah Mandailing, sedangkan produksi kopi dari Wilayah Padang Lawas merupakan yang terendah, terutama karena kondisi daratan di wilayah tersebut tidak cocok untuk tanaman kopi.


Pada tahun-tahun awal abad ke-20, produksi kopi pemerintah terus dipertahankan menurun. Ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan ini, salah satunya adalah Pajak yang cukup tinggi dibebankan pada produk kopi tersebut, sehingga banyak yang lokal orang-orang meninggalkan perkebunan kopi mereka tanpa pengawasan. Dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, masalah di pantai barat Sumatera adalah memang dipicu oleh pengenaan pajak. Diskusi tentang masalah pajak tidak akan dibahas di sini karena konteks masalah yang berbeda. Selain masalah perpajakan, pemerintah juga tidak bisa mengontrol perdagangan bebas antara penduduk lokal dan pedagang luar di luar wilayah Belanda dari Natal, Air Bangis dan pelabuhan pantai timur Sumatera. Perdagangan bebas kopi disebut "kopi ilegal" oleh catatan kolonial. Artinya, perdagangan bebas yang merajalela kebanyakan kopi tidak berakhir di gudang pemerintah. Sebagai konsekuensi, produksi kopi pemerintah semakin menurun, sedangkan keuntungan dari ilegal perdagangan kopi mengalir ke kantong orang-orang (Zed 1983, 173–174). Pada tahun 1908, sistem budidaya kopi dan kopi wajib diserahkan kepada sistem pemerintahan secara resmi berakhir (Zed 1983, 215). Setelah pemberantasan Dari kebijakan ekonomi pemerintah ini, harga beli kopi di Tapanuli mengalami kenaikan lebih-lebih. Masalah yang terus berlangsung yang sempat mencekam petani kopi akibat harga monopoli pemerintah kolonial mulai bubar. Perkebunan kopi petani lokal dan sektor swasta bangkit dan meningkat, jadi kopi dari Tapanuli dibawa ke Natal dan Sibolga terus tersedia dari tahun ke tahun



untuk kemudian dikirim ke Padang untuk proses lelang. Selama hari-hari itu, penduduk setempat petani tidak hanya menghasilkan kopi Arabika tetapi juga jenis kopi seperti Robusta dan Liberia yang mulai ditanam di perkebunan kopi di daerah Tapanuli (Anonim 1924, lampiran 3). Produksi kopi dari Tapanuli terus berlanjut komoditas ekspor pemerintah kolonial setidaknya sampai 1928. Pada tahun itu, banyak perkebunan kopi di Tapanuli yang ditanami dengan perkebunan pertanian lain tanaman seperti karet (Gijselman dan Steup 1929).



Agustono, Budi. Junaidi. The Dutch Colonial Economic Policy: Coffee Exploitation in Tapanuli Residency, 1849–1928. USU:2018

Posting Komentar untuk "SEKILAS TENTANG SEJARAH KOPI DI TABAGSEL"